whasathiyyah

SYAFANA ISLAMIC SCHOOL : MEMBUMIKAN WASATHIYYAH (MODERASI) ISLAM DI INDONESIA 

Oleh: H. Nanang Firdaus Masduki, Lc

Pendahuluan

Ketika akan mendirikan Syafana Islamic School 14 (empat belas) tahun lalu, langkah pertama yang kami lakukan adalah menyusun cetak biru sekolah mulai dari visi, misi, tujuan, target, manhaj yang diemban, kurikulum dan lain sebagainya. Dari sekian point yang kami rumuskan, visi, misi dan manhaj sekolah adalah diantara point yang paling awal dan secara mendalam dan teliti kami rumuskan. Mengingat hal itu akan menjadi fondasi Syafana dalam sepuluh, lima puluh atau seratus tahun yang akan datang. Salah satunya adalah manhaj Syafana. Sejak awal,kami sudah mengikrarkan diri bahwa manhaj Syafana adalah Ahlussunnah Wal jamaah Asy’aryah Syafiiyyah . Secara lebih gamblang, Syafana berkiblat kepada Al Azhar Assyarif di Cairo-Mesir yang dikenal selama ribuan tahun sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam.

Dalam kurun tahun-tahun awal Syafana berdiri, mayoritas pertanyaan yang muncul dari orangtua murid atau calon orangtua murid adalah seputar kurikulum, silabus, kualifikasi guru dan hal-hal yang berkaitan dengan operasional sekolah. Jarang sekali ada yang bertanya seputar manhaj sekolah. Tapi dalam empat tahun terakhir, muncul fenomena baru. Sudah ada pertanyaan dari calon orangtua murid baru tentang apakah sekolah ini bermanhaj salafy? Apakah sekolah ini mengamalkan sunnah? Apakah sekolah ini sesuai syar’i? Mau tidak mau kami harus memberikan penjelasan atas pertanyaan – pertanyaan tersebut. Walaupun kadang kala pengetahuan penanya seputar konsep-konsep dasar seputar sunnah, syar’i dan salafy juga masih sangat terbatas. Dengan senang hati kami memberikan jawaban yang komprehensif terkait manhaj yang Syafana jadikan fondasi dalam mengembangkan pendidikan berkualitas.  Syafana adalah sekolah yang didirikan atas dasar Wasathiyyah Islam (moderasi Islam), Ahlussunnah wal jamaah, Asy’ariyyah, Syaafiiyah dan berkiblat kepada Al-Azhar Asyarif Cairo-Mesir.

Makna Wasathiyyah (Moderasi) Islam

Wasathiyyah dalam bahasa  Arab  berasal  dari  kata  ‘wasath’ berarti penengah, perantara, yang berada di posisi tengah, pusat, jantung, mengambil jalan tengah atau cara yang bijak atau  utama,  indah  dan  terbaik,  bersifat  ‘tengah’  dalam  pandangan, dan berbuat adil. Dalam kajian Islam akademik, ‘Wasathiyyah Islam’,  sering  diterjemahkan  sebagai   ‘justly-balanced Islam’ , ‘the middle path’  atau  ‘the middle way’  Islam dan Islam sebagai mediating and balancing power untuk memainkan peran mediasi dan pengimbang. Istilah-istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah dalam Islam untuk tidak terjebak pada ekstremitas. Selama ini konsep WasathiyyahIslam dipahami, merefleksikan prinsip tawassut (tengah), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i`tidal (adil), iqtisad (sederhana). Dengan demikian, istilah Ummatan Wasathan sering juga disebut sebagai ‘a just people’ atau ‘a just community’.  Yaitu masyarakat atau komunitas yang menampilkan kriteria di atas.

Islam memiliki watak yang banyak, sebagai agama kasih sayang dan perdamaian (din ar-rahmah wa as-salamah) , agama keadilan (din al-‘adl) , agama berkemajuan (din al-hadharah) , bahkan secara gamblang Alquran menyebutkan Islam sebagai ummatan wasathan , umat moderat.

Pada hakekatnya seluruh ajaran Islam yang menjadi pandangan hidup (worldview) para penganutnya berwatak Wasathiyyah: berada di tengah, moderat alias tidak condong ke kanan atau ke kiri. Artinya, inti dari ajaran Wasathiyyah itu adalah sikap hidup untuk berperilaku tidak berlebihan dalam segala hal. Seorang muslim tak diperkenankan berperilaku ekstrim menjalankan ajaran agama. Sikap Wasathiyyah juga tak memperkenankan perilaku meremehkan (tasaahul) pelaksanaan ajaran agama. Gambaran yang dijelaskan dalam Al Qur’an maupun perilaku Nabi (sabda, perbuatan dan restu atas perbuatan orang lain) yang tertera dalam hadits-hadits shahih menegaskan hal tersebut.

Sekadar contoh, Allah mencela cara-cara beragama kaum terdahulu yang cenderung berlebihan seperti tergambar dalam QS An-Nisa’ ayat 171 serta Al Maidah ayat 77. Sementara Nabi sendiri bersabda, “Waspadalah anda sekalian dari bersikap ekstrim (ghuluw) dalam beragama, karena tidaklah binasa kaum sebelum kalian kecuali karena mereka bersikap ekstrim dalam beragama.” Hadits shahih senada masih banyak lagi yang menegaskan tentang larangan bersikap ekstrim serta penegasan mengenai pentingnya bersikap tawassuth (bersikap moderat) dan i’tidal (bersikap adil). Itulah sebabnya ajaran Wasathiyyah Islam ini sesuai dengan fitrah manusia.

Untuk berempati terhadap kesengsaraan hidup dalam kemiskinan yang dialami oleh sebagian manusia, misalnya, kita diajarkan tentang pentingnya berpuasa ramadhan. Begitu pula karena manusia diciptakan punya hawa nafsu, maka untuk memenuhi hasrat dan nafsu kemanusiaannya serta untuk melanjutkan keturunan (regenerasi), Islam mengajarkan tentang pentingnya pernikahan. Dan begitulah seterusnya, terhadap hal-hal mendasar yang bersifat fitrah manusia. Islam memberi pemenuhan tetapi dengan aturan-aturan tertentu.

Cara beragama yang menentang fitrah kemanusiaan (ekstrim) masih kita temukan dalam tradisi Selibat pada agama Katolik. Gereja Katolik mengatur, hanya pria yang tidak menikah saja yang dapat ditahbiskan menjadi imam gereja. Jika melacak sejarah, banyak kita jumpai cara beragama yang ekstrim menentang fitrah manusia. Bahkan, dalam tubuh umat Islam sendiri masih kita temukan ajaran ekstrim dengan cara mengafirkan kelompok lain yang tak sepaham dengan dirinya. Dengan atas nama jihad, inilah kelompok yang akhir-akhir ini membuat citra Islam sebagai agama yang hanya identik dengan teror dan kekerasan.

Konsep Wasathiyah Islam bukanlah prakarsa baru karena sudah luas dimaklumi adanya prakarsa-prakarsa terdahulu antara lain oleh al-Azhar asy-Syarif di Kairo, Mesir. Selama ribuan tahun, Al Azhar Asy-Syarif di Cairo-Mesir dikenal sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, yang memiliki pengaruh dalam keberagaman umat Islam di banyak negara di dunia. Luas diketahui, celupan (shibghah) al-Azhar berwarna Wasathiyah Islam. Shibghah ini telah mempengaruhi persebaran manhaj wasathy sebagai arus utama pemikiran keislaman di dunia Islam. Itu pula yang mendorong Syafana menjadikan Al-Azhar Ass-syarif sebagai kiblat dalam membangun pendidikan.

Dengan demikian, sesuai filosofi Wasathiyyah di atas, Islam menolak segala bentuk ektremitas, menentang berbagai penyimpangan pemikiran, baik dalam sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya karena itu bertentangan dengan watak Islam yang sejati tadi.

Fenomena Terkini

Namun, akhir-akhir ini peta gerakan Islam di Indonesia berubah. Ada pihak-pihak yang menginfiltrasi dengan menyulut api perpecahan. Tiba-tiba saja, untuk sekadar contoh, konflik Wahabi-Syiah yang menajam di Timur Tengah berpindah ke negeri ini. Konflik disana ditarik seakan menjadi konflik dalam negeri. Secara perlahan, mimbar-mimbar mesjid diisi oleh pihak-pihak yang dengan mudah mengkafirkan orang lain, membidahkan dan menganggap sesat orang-orang-orang yang berbeda pendapat. Secara sistematik muncul lembaga pendidikan yang melakukan indoktrinasi secara massif kepada anak didiknya dalam hal furuiyyah. Padahal Islam membuka lebar-lebar pintu ijtihad sehingga umat ini memiliki banyak alternatif dan tidak bersifat tunggal dalam menjalankan ajaran Rasulullah SAW. Tentu, ini tidak menguntungkan bagi gerakan Islam Indonesia kedepan. Secara spesifik, jika anak didik kita mendapatkan pola pendidikan seperti itu, hanya akan melahirkan anak-anak yang keras, mau menang sendiri, menganggap orang lain keliru dan jauh dari sifat-sifat moderat. Hendaknya, gerakan Islam Indonesia jangan terpengaruh dengan provokasi semacam itu. Dengan konsep WASATHIYYAH-nya gerakan Islam Indonesia yang punya sejarah dan latar belakang yang khas bercita-cita ingin menjadi semacam proto-type peradaban yang khas pula di Asia Tenggara. Sebuah gerakan Islam yang diharapkan mampu menyerap sains dan teknologi modern, sehingga bisa berkompetisi secara positif dengan peradaban lain.

Penerapan Wasathiyyah Islam dalam Pendidikan

Di Indonesia, wawasan Wasathiyyah Islam sesungguhnya sudah secara historis dan kultural menjadi warna dasar keberagaman umat Islam di Indonesia. Hal ini terwujud pada karakter Islam di Indonesia dan merupakan salah satu kekayaan Khazanah Islam Indonesia. Salah satunya adalah penerapan Wasathiyyah Islam dalam aspek pendidikan. Pendidikan Islam di Indonesia turut berperan mengembangkan karakter Moderasi Islam. Pendidikan Islam di pesantren, madrasah, dan sekolah Islam adalah model yang sangat baik tentang bagaimana pendidikan Islam dalam berkolaborasi dan adaftif terhadap kultur lokal dan sekaligus dinamika perubahan. Dalam ilmu-ilmu yang dipelajari, ilmu-ilmu Islam tradisional berspektif Wasathiyyah menjadi bagian integral di berbagai lembaga pendidikan yang dipadukan dengan pengetahuan modern.

Model lembaga pendidikan Islam ini sulit ditemui di negara-negara lain. Pendidikan Islam khas Indonesia ini setidaknya turut berkontribusi kepada pendidikan Islam yang mengajarkan Wasathiyyah (moderasi) Islam. Namun belakangan, wawasan dan karakter Islam Wasathiyyah di negeri ini mendapat ujian yang cukup berat. Munculnya pemahaman ekstrem dalam beragama, intoleransi, dalam perbedaan agama, ras, dan suku sedikit banyak telah mengikis pemahaman dan penerapan wawasan Wasathiyyah (moderasi) Islam di Indonesia.

Arah Pendidikan Syafana: membumikan Wasathiyyah (Moderasi) Islam

Oleh karena itu, rekonstruksi pemahaman Wasathiyyah Islam dalam pendidikan mutlak diperlukan. Syafana Islamic School memiliki misi mulia untuk membumikan Wasathiyyah Islam. Sehingga semua civitas akademik Syafana Islamic School dapat memahami bahwa perintah dakwah dalam Islam bertujuan terwujudnya transformasi dan perubahan kepada kebaikan dan kebenaran, baik pada level pribadi maupun masyarakat, yang dilakukan dengan cara persuasif dan komunikasi yang elegan, bukan indoktrinasi buta. Melalui jalur pendidikan,kita juga harus menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil  alamin, cinta perdamaian dan anti terhadap kekerasan. Serta mampu memaknai Islam dalam tataran tekstual yang fleksible, mampu membaca relitas hidup dan menolak ekstrimisme dalam bentuk kezaliman dan kebatilan. Melalui pendidikan pula, Syafana Islamic School harus mampu menumbuhkan karakter siswa-siswinya yang religius, humanis, nasionalis, demokratis dan mengutamakan kesejahteraan rakyat, serta yang paling utama adalah menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan, kemanusiaan dan peradaban. Wallahu Alam.