SYAFANA NEWS – Pola makan yang baik dan sehat, ternyata dapat mempengaruhi mental anak menjadi pribadi-pribadi yang baik.
Hal ini terungkap dalam seminar parenting yang digelar PTA Syafana Islamic School-Primary, Paradiso, Gading Serpong.
Dengan mengusung tajuk “Mental Sehat, Anak Bahagia: Hubungan Kesehatan Mental dengan Nutrisi yang Tepat”, seminar ini mengundang psikolog anak Samanta Elsener.
Dipandu psikolog pendidikan Sayyidah Winy Nila, seminar berlangsung dengan dinamis.
“Makanan bisa mempengaruhi kondisi mental anak,” kata Samanta, Selasa (23/9/2024).
Dijelaskan, bagaimana makanan pada anak dapat mempengaruhi kesehatan mental. Dengan memaparkan sejumlah contoh nyata, penjelasan menjadi mudah untuk dicerna.
“Contohnya, orangtua yang sering berantem di meja makan di depan anaknya, membuat anak jadi tidak mau makan makanan yang dimakan bapaknya, karena kesal,” jelasnya.
Dikatakan, pada kondisi itu kesehatan mental anak terganggu karena melihat orangtuanya.
Maka itu, perlu dilakukan pemulihan mental anak dengan melakukan berbagai pendekatan dan komunikasi yang lebih baik.
Dirinya pun memberikan contoh selanjutnya pada anak GTM atau Gerakan Tutup Mulut.
Menurutnya, ada banyak faktor anak GTM sulit makan. Salah satunya adalah rasa trauma dengan lingkungan dan pola asuh di rumah, mulai dari orangtua dan lingkungan.
Dijelaskan, pola makan pada anak GTM harus diidentifikasi terlebih dahulu, untuk mengetahui penyebab anak menjadi GTM.
“Anak GTM, jika dia dimarahin akan membuat trauma, hingga tidak mau makan. Jadi makan itu bukan soal makanannya yang sehat saja, tapi proses makannya gimana?,” jelasnya.
Dikatakan, sebagai orangtua, ayah bunda juga harus mengetahui takaran makan anak.
“Kunci utama makan pada anak adalah proses makan dan komunikasi kita dengan anak. Semakin komunikasinya baik, semakin mudah untuk anak mau makan,” katanya.
Yang juga harus diperhatikan ayah bunda di rumah adalah kebiasaan bersama anak.
“Kebiasaan baik bisa menjadi pembuka bagi orangtua berbicara dengan anak dari hati ke hati dan edukasi makanan sehat. Jadi nanti harapannya, anak-anak bisa mengontrol diri dari jajanan tidak sehat di luar,” jelasnya.
Dalam sesi tanya jawab, yang menarik adalah pertanyaan dari orangtua murid, bernama Astri. Dia menanyakan, sejauh mana mental seorang anak disebut tidak sehat.
Untuk kasus ini, Samanta mengambil contoh seorang anak yang merasa rendah diri.
“Misalnya, ada anak yang mengatakan, teman aku gak ada yang mau temenan sama aku, gimana nanti? Jadi anak ini sudah melihat dirinya rendah, dan anak sudah rendah diri. Maka, perbaiki pola makannya,” jelasnya.
Selain itu, orangtua juga harus memperbaiki hubungan komunikasi dengan anak.
“Contoh ada anak yang gak suka makan sayur, dan sensitivitas sensoriknya tinggi. Maka bangun kedekatan dengan dia, main dengan dia, bacakan buku tentang sayur yang dia tidak suka, lalu suapin dia,” terangnya.
Bisa juga menggunakan cara dengan datang langsung ke petani dan lihat proses berkebun.
“Buat mood yang baik. Ciptakan suasana hati yang bagus bagi anak. Baru nanti dia akan makan dan perlahan mulai suka,” bebernya.
Kegiatan ini ditutup dengan kesimpulan dari Winy Nila, tentang pentingnya nutrisi yang dapat mempengaruhi kesehatan mental anak.
“Kesehatan mental anak tanggung jawab kita bersama. Dengan memberikan nutrisi yang tepat, kita dapat membantu anak menjadi individu yang bahagia dan sehat,” tukasnya.
Write a Comment