Menikmati Proses Menghafal Al Quran 30 Juz di Syafana Islamic School

Oleh: Nanang Firdaus Masduki

Salah satu amalan paling baik dan sangat dicintai oleh Allah adalah menghafal Al-Quran. Sebagaimana janji Allah Swt, para penghafal Al-Quran akan mendapat kehormatan berupa Tajul Karomah atau mahkota kemuliaan bagi dirinya dan kedua orangtuanya pada hari kiamat kelak. Bukan hanya itu, seorang penghafal Al-Quran kelak akan mendapat Tasyrif al-Nabawy, atau penghargaan khusus dari baginda Rasulullah Saw atas pencapaiannya menghafal Al-Quran dan mengamalkannya. Tidak cukup itu saja, di surga kelak, para penghafal Al-Quran akan mendapatkan tempat tertinggi di sisi Allah Swt, dimana tidak ada tempat tertinggi lagi setelah itu. Semua janji Allah tersebut merupakan jaminan bagi seorang penghafal Al-Quran untuk meraih kemuliaan.

Secara berulang kali disebutkan dalam Al-Quran, Allah Swt akan menjamin siapa-siapa dari hamba-Nya yang menghafal Al-Quran. Tentu saja, jaminan kemudahan ini memiliki spektrum yang luas. Dengan kata lain, pada hakikatnya, semua manusia mempunyai tiket untuk menghafal Al-Quran. Tinggal memilih saja, apakah mereka mau mengambil tiketnya atau tidak. Diantara orang-orang yang berani mengambil tiket tersebut adalah siswa-siswi yang mengikuti program tahfidz reguler 1 (satu) juz dalam satu tahun dan program tahfidz 30 juz di Syafana Islamic School.

Strategi Mencapai Garis Finish

Sebagaimana sudah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, jika mengacu kepada target pencapaian, seseorang bisa mempunyai target bersifat logis matematis dalam menghafal Al-Quran. Target ini boleh dijadikan pedoman oleh seorang penghafal Al-Quran  supaya yang bersangkutan tahu progres dan pencapaiannya selama menghafal Al-Quran. Tapi mesti diingat, semua itu hanyalah angka-angka. Tidak baku. Bisa lebih cepat atau lambat.

Sebagai agama paripurna, Islam sangat memperhatikan setiap langkah dan proses yang dilakukaan seseorang dalam mengerjakan kebaikan. Seseorang yang akan berbuat kebajikan maka harus dimulai dengan niat yang tulus ikhlas, kemudian istiqamah atau konsisten serta kontinyu dalam pengerjaannya agar mencapai tujuan akhir yang sempurna

Begitu pula dengan program tahfidz ini. Untuk mencapai garis finish, tidak bisa kita lakukan secara instan. Seorang penghafal Al-Quran harus menjalani seluruh prosesnya dengan cara menikmatinya. Bergembira, riang, enjoyful, disiplin, fokus dan istiqamah dan tidak putus di tengah jalan sebelum menjejak garis finish.

Tahfizh dan Shohibul Quran

Dalam Al-Quran atau hadist tidak ada menyebut kata hafal. Tapi kata yang digunakan memiliki makna di atas kata tahfidz atau hafal. Yang digunakan adalah kata shahibul Quran, Orang yang selalu berinteraksi dan terikat hati dan tubuhnya dengan Al-Quran. Artinya, tujuan kita tidak hanya hafal tapi diatasnya yaitu menjadi shohibul Qur’an. Titiknya beratnya adalah terhadap proses. Bagaimana seseorang menikmati prosesnya sehingga terjadi internalisasi dalam dirinya dan tidak sekedar hafal.

Dalam sebuah hadist disebutkan: akan dikatakan kepada shahibul Quran:

 “bacalah dan naik ke tingkatan Surga”.

Para shohibul Quran memiliki energi yang tidak habis habisnya untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an. Lalu siapakah shohibul Quran itu?

Pertama, shohibul Quran adalah manusia yang memiliki kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa batas sehingga ia tidak pernah berhenti untuk membaca Al-Qur’an.

Kedua, seseorang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai motivasi dalam mengarungi kehidupan dunia dan mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik.

Ketiga, seorang manusia yang punya hawa nafsu, terkadang datang sifat malasnya, jenuh, futur, sedih dan sebagainya. Namun ia tidak pernah tunduk kepada hawa nafsunya demi selalu bersama Al-Qur’an.

Keempat, seorang manusia yang merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al-Qur’an dan tidak menjadikannya sebagai beban. Hanya dengan Al-Qur’an batinnya terpuaskan.

Kelima, seorang yang selalu menjadikan Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan serta selalu peduli dengan umat manusia dan mengajaknya kembali kepada Al-Qur’an.

Jadi tugas kita semua saat ini sebagai orangtua dan muhafidz adalah bagaimana menjadikan siswa-siswi kita mencintai Al-Quran dengan sepenuh cinta. Cinta yang tidak bisa memisahkan keduanya. Cinta Alquran yang menjadikan siswa-siswi ini menikmati setiap prosesnya hingga tuntas. Wallahu alam…

SYAFANA ISLAMIC SCHOOL : MEMAKNAI PROGRAM TAHFIZH 30 JUZ SYAFANA ISLAMIC SCHOOL

Oleh: H.Nanang Firdaus Masduki,L.c

Sejak pertama kali digulirkan, program tahfizh 30 juz dalam 2 tahun mendapat sambutan yang sangat positif dari siswa dan orangtua Syafana. Hal itu terbukti dengan banyaknya pendaftar untuk mengikuti program tersebut. Hingga saat ini, tak kurang dari 150 peserta sudah terdaftar yang terbagi ke dalam 3 batch. Besarnya animo dan antusiasme siswa dan orangtua untuk mengikuti program ini adalah sesuatu yang mengagetkan sekaligus menggembirakan. Bukan itu saja, selain sambutan di lingkungan internal, sejauh ini juga sudah banyak sekolah atau pesantren yang berkunjung untuk mengadopsi program ini. Subhanallah.

Alhamdulilah, sudah hampir 1.5 tahun lebih program ini berjalan. Progress siswa-siswi penghafal Al-Quran ini ternyata  berbeda satu sama lain. Sesuai batchnya, speed menghafalnya, ketekunannya dan lain-lain. Makanya beberapa orangtua sempat bertanya, bagaimana kalau dalam waktu 2 tahun ke depan target 30 juz belum tercapai? Apakah secara otomatis siswa berhenti menghafal atau terus lanjut? Atau ada juga yang bertanya, kalau siswa sudah hafal 30 juz, lalu langkah selanjutnya bagaimana? Dan masih banyak pertanyaan yang terlontar. Makanya supaya tidak membingungkan dan mendapat pemahaman yang utuh serta sesuai target yang diharapkan, saya akan menjelaskan beberapa hal dimaksud.

 

 . 

PEMAHAMAN ULANG TAHFIZH 30 JUZ DALAM 2 TAHUN

Sebelum mengadopsi program ini dari lembaga Wahatul Furqan di Mesir, tak kurang dari 4 (empat) kali saya bolak balik Jakarta-Cairo. Salah satu tujuannya adalah untuk mempelajari sistem, pola, kurikulum dan metode yang mereka kembangkan. Mempelajari hal-hal yang cocok diimplementasikan  atau tidak cocok di Syafana. Walaupun ide besar programnya kita adopsi dari Wahatul Furqan, tapi tetap kita harus menkombinasikan dengan nilai-nilai dan kebiasaan anak-anak Indonesia. Ditambah pula,  program ini digulirkan atas dasar hasil analisa program-program tahfizh yang selama ini sudah dipraktekan di Indonesia.

Sejak awal, target siswa peserta program ini adalah hafal 30 juz Al-Quran. Harapannya adalah siswa yang dinyatakan lulus program ini adalah siswa yang sudah hafal 30 juz. Ingat, target kita 30 juz.  Walaupun kita harus tetap mengapresiasi seandainya ada siswa yang hafalannya belum sampai 30 juz. Artinya, selama siswa tersebut masih tercatat sebagai siswa Syafana, mereka masih punya kesempatan untuk menuntaskan jumlah hafalannya di sela-sela kegiatan sekolah tanpa harus masuk boarding. Jangan sampai program mulia ini putus di tengah jalan sebelum tuntas.

Adapun terkait target 2 tahun hafal 30 juz, ada dasar pemikirannya dan langkah-langkah selanjutnya ketika seseorang sudah hafal. Ketika melakukan studi banding ke Mesir, saya menyaksikan di Wahatul Furqan Mesir ada siswa yang hafal 30 juz dalam 30 hari, hafal 30 juz dalam 5-6 bulan, hafal 30 juz dalam 1 tahun, hafal 30 juz dalam 2 tahun. Ada juga yang hafal 30 juz dalam 3 tahun dan 4 tahun dan seterusnya. Artinya, jangka waktu pencapaian seorang siswa untuk hafal 30 juz ternyata bervariasi antara satu sama lain.  Di  Wahatul Furqan sendiri, rerata waktu yang dibutuhkan  siswa untuk menghafal 30 juz adalah 6 bulan hingga satu tahun.

 

CARA MENGHITUNGNYA

Jumlah halaman dalam Al-Quran mushaf Utsmany standar Madinah berjumlah kurang lebih 600 halaman. Setiap halaman rata-rata terdiri dari 15 baris. Dalam 1 (satu) tahun terdiri dari 365 hari.  Nah, jumlah 365 hari kita bulatkan menjadi 300 hari waktu efektif menghafal/belajar dan sisa 65 harinya kita tetapkan sebagai hari libur selama setahun. Dengan demikian, maka seseorang memiliki waktu efektif menghafal/belajar dalam setahun adalah lebih kurang 300 hari.

Jika seorang siswa mampu  menghafal 1 juz sehari, maka dia butuh 30 hari untuk menghafal Al-Quran. Jika seseorang mampu menghafal 1 (satu)rubu’/dua setengah halaman perhari, Maka dia butuh 7-8 bulan untuk menghafal Al-Quran. Jika seseorang mampu menghafal 2 halaman sehari, maka dia butuh 1 tahun untuk menghafal Al-Quran. Jika seseorang mampu menghafal 1 halaman sehari, maka dia butuh 2 tahun untuk meghafal Al-Quran. Jika seseorang mampu menghafal setengah halaman atau sekitar 7-8 baris sehari, maka dia butuh waktu 4 tahun. Cepat atau lambatnya durasi seorang siswa menghafal Al-Quran sangat ditentukan banyak faktor seperti kekuatan niat, keistiqamahan, endurance, daya dukung orangtua dan orang-orang di sekelilingnya dan lain-lain.

Adapun dasar penetapan waktu menghafal 30 juz dalam waktu 2 (tahun) adalah keyakinan saya bahwa dengan durasi 3 jam efektif menghafal, mulai pukul 05.00-08.00 Wib senin -sabtu, seorang siswa akan mampu menghafal minimal satu halaman sehari.

Jika seorang siswa secara konsisten mampu menghafal 1 (satu) halaman per hari, maka target dua tahun itu insya Allah tercapai. Secara umum, kemampuan menghafal siswa peserta program ini sangat variatif. Ada yang sanggup menghafal dua setengah halaman, dua halaman, satu halaman bahkan ada juga yang sehari hanya 2 baris. Tapi percayalah, dengan kekuatan niat, iradah, azam, ikhtiar, ikhlas dan kesabaran, semua siswa bisa tuntas hafal 30 juz. Yang membedakannya hanya soal waktu saja.

 

FASE PASCA HAFAL 30 JUZ

Setelah siswa hafal 30 juz dalam durasi tertentu, tidak serta merta kegiatan ini terputus. Fase berikutnya yang harus dilewati sang hafizh adalah fase Tatsbit. Fase Tastbit adalah fase pemantapan hafalan. Dengan hafalan yang demikian banyak, sang hafizh akan dibimbing oleh muhafizh untuk mengulang, memperbaiki, memperkuat, memperlancar kualitas hafalannya dari awal sampai akhir dengan mengetahui hukum, makhraj dan fashohatul kalam setiap ayat. Pada fase inilah siswa digembleng agar menguasai Alquran sebaik mungkin.

 

FASE PEMBERIAN IJAZAH SANAD

Setelah melewati fase kedua, sang hafizh harus melewati fase berikutnya yaitu fase pemberian ijazah Sanad dari muhafizh atau syaikh Wahatul Furqan. Pemberian ini sangat penting sebagai salah satu bentuk legitimasi dari seseorang yang memiliki otoritas dalam ilmu Al-Quran atas kualitas hafalan sang Hafizh yang terhubung langsung hafalannya kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw. Sehingga kualifikasi sang hafizh terkait kualitas hafalannya betul-betul teruji dan mumpuni.

 

FASE PENDALAMAN TAFSIR ALQURAN

Setelah melewati fase tahfidz, tatsbit dan pemberian sanad Al-Quran, fase berikutnya adalah mempelajari kosa kata Al-Quran beserta tafsirnya. Langkah ini harus dilalui agar supaya sang hafizh tidak sebatas menghafal ayat-ayat Al-Quran tapi juga memahami setiap kosa kata, kandungan isi dan makna terdalam setiap ayat Al-Quran. Serta mampu menghafal dengan kualitas terbaik merujuk kepada sanad bacaan yang terhubung kepada Rasulullah saw serta menguasai makna setiap kata Al-Quran dengan pemahaman yang paripurna.

Demikianlah fase-fase yang harus dilalui oleh seorang siswa dalam menghafal kandungan suci ayat-ayat Al-Quran. Ini adalah sebaik-baik fondasi bagi sang hafizh dalam mengarungi kesuksesan di masa yang akan datang. Harapan kita kelak, jika seseorang sudah hafal 30 juz Al-Quran beserta isi dan kandungannya, kemanapun arah dan langkah pendidikan yang akan sang hafizh ambil, mau memilih menjadi seorang scientis, entrepreneur, profesional, engineer dan lain sebagainya akan selalu menjadikan Al-Quran itu sebagai dasar dan petunjuk dalam setiap gerak langkahnya menuju keberkahan hidup dan kemanfaatan bagi sesama. Wallahu Alam..

whasathiyyah

SYAFANA ISLAMIC SCHOOL : MEMBUMIKAN WASATHIYYAH (MODERASI) ISLAM DI INDONESIA 

Oleh: H. Nanang Firdaus Masduki, Lc

Pendahuluan

Ketika akan mendirikan Syafana Islamic School 14 (empat belas) tahun lalu, langkah pertama yang kami lakukan adalah menyusun cetak biru sekolah mulai dari visi, misi, tujuan, target, manhaj yang diemban, kurikulum dan lain sebagainya. Dari sekian point yang kami rumuskan, visi, misi dan manhaj sekolah adalah diantara point yang paling awal dan secara mendalam dan teliti kami rumuskan. Mengingat hal itu akan menjadi fondasi Syafana dalam sepuluh, lima puluh atau seratus tahun yang akan datang. Salah satunya adalah manhaj Syafana. Sejak awal,kami sudah mengikrarkan diri bahwa manhaj Syafana adalah Ahlussunnah Wal jamaah Asy’aryah Syafiiyyah . Secara lebih gamblang, Syafana berkiblat kepada Al Azhar Assyarif di Cairo-Mesir yang dikenal selama ribuan tahun sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam.

Dalam kurun tahun-tahun awal Syafana berdiri, mayoritas pertanyaan yang muncul dari orangtua murid atau calon orangtua murid adalah seputar kurikulum, silabus, kualifikasi guru dan hal-hal yang berkaitan dengan operasional sekolah. Jarang sekali ada yang bertanya seputar manhaj sekolah. Tapi dalam empat tahun terakhir, muncul fenomena baru. Sudah ada pertanyaan dari calon orangtua murid baru tentang apakah sekolah ini bermanhaj salafy? Apakah sekolah ini mengamalkan sunnah? Apakah sekolah ini sesuai syar’i? Mau tidak mau kami harus memberikan penjelasan atas pertanyaan – pertanyaan tersebut. Walaupun kadang kala pengetahuan penanya seputar konsep-konsep dasar seputar sunnah, syar’i dan salafy juga masih sangat terbatas. Dengan senang hati kami memberikan jawaban yang komprehensif terkait manhaj yang Syafana jadikan fondasi dalam mengembangkan pendidikan berkualitas.  Syafana adalah sekolah yang didirikan atas dasar Wasathiyyah Islam (moderasi Islam), Ahlussunnah wal jamaah, Asy’ariyyah, Syaafiiyah dan berkiblat kepada Al-Azhar Asyarif Cairo-Mesir.

Makna Wasathiyyah (Moderasi) Islam

Wasathiyyah dalam bahasa  Arab  berasal  dari  kata  ‘wasath’ berarti penengah, perantara, yang berada di posisi tengah, pusat, jantung, mengambil jalan tengah atau cara yang bijak atau  utama,  indah  dan  terbaik,  bersifat  ‘tengah’  dalam  pandangan, dan berbuat adil. Dalam kajian Islam akademik, ‘Wasathiyyah Islam’,  sering  diterjemahkan  sebagai   ‘justly-balanced Islam’ , ‘the middle path’  atau  ‘the middle way’  Islam dan Islam sebagai mediating and balancing power untuk memainkan peran mediasi dan pengimbang. Istilah-istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah dalam Islam untuk tidak terjebak pada ekstremitas. Selama ini konsep WasathiyyahIslam dipahami, merefleksikan prinsip tawassut (tengah), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i`tidal (adil), iqtisad (sederhana). Dengan demikian, istilah Ummatan Wasathan sering juga disebut sebagai ‘a just people’ atau ‘a just community’.  Yaitu masyarakat atau komunitas yang menampilkan kriteria di atas.

Islam memiliki watak yang banyak, sebagai agama kasih sayang dan perdamaian (din ar-rahmah wa as-salamah) , agama keadilan (din al-‘adl) , agama berkemajuan (din al-hadharah) , bahkan secara gamblang Alquran menyebutkan Islam sebagai ummatan wasathan , umat moderat.

Pada hakekatnya seluruh ajaran Islam yang menjadi pandangan hidup (worldview) para penganutnya berwatak Wasathiyyah: berada di tengah, moderat alias tidak condong ke kanan atau ke kiri. Artinya, inti dari ajaran Wasathiyyah itu adalah sikap hidup untuk berperilaku tidak berlebihan dalam segala hal. Seorang muslim tak diperkenankan berperilaku ekstrim menjalankan ajaran agama. Sikap Wasathiyyah juga tak memperkenankan perilaku meremehkan (tasaahul) pelaksanaan ajaran agama. Gambaran yang dijelaskan dalam Al Qur’an maupun perilaku Nabi (sabda, perbuatan dan restu atas perbuatan orang lain) yang tertera dalam hadits-hadits shahih menegaskan hal tersebut.

Sekadar contoh, Allah mencela cara-cara beragama kaum terdahulu yang cenderung berlebihan seperti tergambar dalam QS An-Nisa’ ayat 171 serta Al Maidah ayat 77. Sementara Nabi sendiri bersabda, “Waspadalah anda sekalian dari bersikap ekstrim (ghuluw) dalam beragama, karena tidaklah binasa kaum sebelum kalian kecuali karena mereka bersikap ekstrim dalam beragama.” Hadits shahih senada masih banyak lagi yang menegaskan tentang larangan bersikap ekstrim serta penegasan mengenai pentingnya bersikap tawassuth (bersikap moderat) dan i’tidal (bersikap adil). Itulah sebabnya ajaran Wasathiyyah Islam ini sesuai dengan fitrah manusia.

Untuk berempati terhadap kesengsaraan hidup dalam kemiskinan yang dialami oleh sebagian manusia, misalnya, kita diajarkan tentang pentingnya berpuasa ramadhan. Begitu pula karena manusia diciptakan punya hawa nafsu, maka untuk memenuhi hasrat dan nafsu kemanusiaannya serta untuk melanjutkan keturunan (regenerasi), Islam mengajarkan tentang pentingnya pernikahan. Dan begitulah seterusnya, terhadap hal-hal mendasar yang bersifat fitrah manusia. Islam memberi pemenuhan tetapi dengan aturan-aturan tertentu.

Cara beragama yang menentang fitrah kemanusiaan (ekstrim) masih kita temukan dalam tradisi Selibat pada agama Katolik. Gereja Katolik mengatur, hanya pria yang tidak menikah saja yang dapat ditahbiskan menjadi imam gereja. Jika melacak sejarah, banyak kita jumpai cara beragama yang ekstrim menentang fitrah manusia. Bahkan, dalam tubuh umat Islam sendiri masih kita temukan ajaran ekstrim dengan cara mengafirkan kelompok lain yang tak sepaham dengan dirinya. Dengan atas nama jihad, inilah kelompok yang akhir-akhir ini membuat citra Islam sebagai agama yang hanya identik dengan teror dan kekerasan.

Konsep Wasathiyah Islam bukanlah prakarsa baru karena sudah luas dimaklumi adanya prakarsa-prakarsa terdahulu antara lain oleh al-Azhar asy-Syarif di Kairo, Mesir. Selama ribuan tahun, Al Azhar Asy-Syarif di Cairo-Mesir dikenal sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, yang memiliki pengaruh dalam keberagaman umat Islam di banyak negara di dunia. Luas diketahui, celupan (shibghah) al-Azhar berwarna Wasathiyah Islam. Shibghah ini telah mempengaruhi persebaran manhaj wasathy sebagai arus utama pemikiran keislaman di dunia Islam. Itu pula yang mendorong Syafana menjadikan Al-Azhar Ass-syarif sebagai kiblat dalam membangun pendidikan.

Dengan demikian, sesuai filosofi Wasathiyyah di atas, Islam menolak segala bentuk ektremitas, menentang berbagai penyimpangan pemikiran, baik dalam sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya karena itu bertentangan dengan watak Islam yang sejati tadi.

Fenomena Terkini

Namun, akhir-akhir ini peta gerakan Islam di Indonesia berubah. Ada pihak-pihak yang menginfiltrasi dengan menyulut api perpecahan. Tiba-tiba saja, untuk sekadar contoh, konflik Wahabi-Syiah yang menajam di Timur Tengah berpindah ke negeri ini. Konflik disana ditarik seakan menjadi konflik dalam negeri. Secara perlahan, mimbar-mimbar mesjid diisi oleh pihak-pihak yang dengan mudah mengkafirkan orang lain, membidahkan dan menganggap sesat orang-orang-orang yang berbeda pendapat. Secara sistematik muncul lembaga pendidikan yang melakukan indoktrinasi secara massif kepada anak didiknya dalam hal furuiyyah. Padahal Islam membuka lebar-lebar pintu ijtihad sehingga umat ini memiliki banyak alternatif dan tidak bersifat tunggal dalam menjalankan ajaran Rasulullah SAW. Tentu, ini tidak menguntungkan bagi gerakan Islam Indonesia kedepan. Secara spesifik, jika anak didik kita mendapatkan pola pendidikan seperti itu, hanya akan melahirkan anak-anak yang keras, mau menang sendiri, menganggap orang lain keliru dan jauh dari sifat-sifat moderat. Hendaknya, gerakan Islam Indonesia jangan terpengaruh dengan provokasi semacam itu. Dengan konsep WASATHIYYAH-nya gerakan Islam Indonesia yang punya sejarah dan latar belakang yang khas bercita-cita ingin menjadi semacam proto-type peradaban yang khas pula di Asia Tenggara. Sebuah gerakan Islam yang diharapkan mampu menyerap sains dan teknologi modern, sehingga bisa berkompetisi secara positif dengan peradaban lain.

Penerapan Wasathiyyah Islam dalam Pendidikan

Di Indonesia, wawasan Wasathiyyah Islam sesungguhnya sudah secara historis dan kultural menjadi warna dasar keberagaman umat Islam di Indonesia. Hal ini terwujud pada karakter Islam di Indonesia dan merupakan salah satu kekayaan Khazanah Islam Indonesia. Salah satunya adalah penerapan Wasathiyyah Islam dalam aspek pendidikan. Pendidikan Islam di Indonesia turut berperan mengembangkan karakter Moderasi Islam. Pendidikan Islam di pesantren, madrasah, dan sekolah Islam adalah model yang sangat baik tentang bagaimana pendidikan Islam dalam berkolaborasi dan adaftif terhadap kultur lokal dan sekaligus dinamika perubahan. Dalam ilmu-ilmu yang dipelajari, ilmu-ilmu Islam tradisional berspektif Wasathiyyah menjadi bagian integral di berbagai lembaga pendidikan yang dipadukan dengan pengetahuan modern.

Model lembaga pendidikan Islam ini sulit ditemui di negara-negara lain. Pendidikan Islam khas Indonesia ini setidaknya turut berkontribusi kepada pendidikan Islam yang mengajarkan Wasathiyyah (moderasi) Islam. Namun belakangan, wawasan dan karakter Islam Wasathiyyah di negeri ini mendapat ujian yang cukup berat. Munculnya pemahaman ekstrem dalam beragama, intoleransi, dalam perbedaan agama, ras, dan suku sedikit banyak telah mengikis pemahaman dan penerapan wawasan Wasathiyyah (moderasi) Islam di Indonesia.

Arah Pendidikan Syafana: membumikan Wasathiyyah (Moderasi) Islam

Oleh karena itu, rekonstruksi pemahaman Wasathiyyah Islam dalam pendidikan mutlak diperlukan. Syafana Islamic School memiliki misi mulia untuk membumikan Wasathiyyah Islam. Sehingga semua civitas akademik Syafana Islamic School dapat memahami bahwa perintah dakwah dalam Islam bertujuan terwujudnya transformasi dan perubahan kepada kebaikan dan kebenaran, baik pada level pribadi maupun masyarakat, yang dilakukan dengan cara persuasif dan komunikasi yang elegan, bukan indoktrinasi buta. Melalui jalur pendidikan,kita juga harus menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil  alamin, cinta perdamaian dan anti terhadap kekerasan. Serta mampu memaknai Islam dalam tataran tekstual yang fleksible, mampu membaca relitas hidup dan menolak ekstrimisme dalam bentuk kezaliman dan kebatilan. Melalui pendidikan pula, Syafana Islamic School harus mampu menumbuhkan karakter siswa-siswinya yang religius, humanis, nasionalis, demokratis dan mengutamakan kesejahteraan rakyat, serta yang paling utama adalah menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan, kemanusiaan dan peradaban. Wallahu Alam.